Jumat, 14 Januari 2011

BUNGA DEWATA

Bunga Dewata
By, Izzah Faidah
Dewi gadis kelahiran Dewata ini adalah sosok nasionalis dan bangga akan dewatanya . Pemilik nama lengkap Luh Putu Swandewi tercipta dari keluarga pengrajin berlian meski belum sampai tingkat export , mereka tak lelah menugkir berlian to be wonderful thing. Swandewi yang lebih ringkas disapa Dewi menguasai berbagai macam tarian khas Bali dan fanatiknya terhadap agama hindu mengubah dirinya menjadi gadis murni Bali.
Guni as Dewi’s bestfriend merupakan teman lelaki satu-satunya yang dimiliki Dewi . Guni berasal dari keluarga pembuka warung rujak yang terkenal di Tabanan ,Bali . I Nyoman Guni Ridhanta adalah nama komplitnya.

Dewi berlatih tari Pendhet , dan Guni hanya melihat dan tidak pernah mau berlatih. Lekuk badan perfect yang dimiliki Dewi membuat tariannya semakin menarik hati . Wajah putih samar coklat khas Bali plus rambut terkuncir panjang membuat nilai A++ dalam tariannya.
Lirikan mata Dewi membuat guru tarinya bangga. Dewi mulai tak konsen , dilihatnya pemuda berparas manis sedang memperhatikan dirinya. Tak karuanlah tariannya. Gurunya menyuruh dewi tuk break sebentar . Dipandangnya pemuda itu , sungguh tak bosan Dewi memandang , kulit coklat menambah aura wibawa di dalam hatinya. Dewi tak sabar tuk tahu namanya.
“ Dew, gimana sih kamu kok gak konsen sie, padahal hampir sempurna gerakanmu!” Komen Guni
“So,tewu kamu Gun , emang kamu tau mana sempurna ato gak ? Kalo pemuda itu sungguh sempurna!” ucap dewi sambil semyum-senyum sendiri..
“Oow, jadi gara – gara dia , kamu jadi gak konsen!!”keluh Guni dan Dewi tak menggubris perkataannya.
“Andai aku tau namanya, berbahagialah diriku , ahh…!” hela napas panjang Dewi .
“Hadhil.” Potong Guni menghentikan Dewi menghela . Dewi tersenyum senang , sedangkan Guni berwajah kecut cemburu.
“Oh, Hadhil , andai dinda tau dimana kamu tinggal dan andai dinda tahu siapa sosok dirimu.” Gumam Dewi . Guni bertambah masam dan api cemburu membukur hatinya , dengan pelit Guni menyela.
“Ia tinggal di depan rumahmu , di kost-kost-an Bu.Made, Ia kan tangan kanan ayahmu Dew? Masa’ gak tau sie , dasar kamu tak peduli sie ama tetangga sendiri , sibukaja berdoa , bikin sesaji , dan ke pure mulu , kapan tetangga mo dipikirin , sibuk abiEezZz !!” celoteh panjang lebar Guni kesal.
“Masa’?, betapa bodohnya diriku tak tau , bahwa ia sudah di depan aku , tersenyum padaku!” Dewi senyum membalas senyum yang dilayangkan Hadhil. Hari semakin kelam mereka pulang ke paraduannya masing-masing.

Dok…tok..tok…tok…
“Ini ada rujak dari bapak , buat yang namanya Hadhil !” ucap Dewi sambil memberikan sebungkus rujak . Guni yang menemaninya tampak masam , bagaimana tidak rujak itu dari Guni untuk Dewi , namun Dewi memberikannya untuk Hadhil. Dewi lagi-lagi tak menggubris Guni yang dari tadi menggurutu , dan tak tampaklah rasa bersalah itu pada muka dewi . Hadhil mempersilahan mereka masuk ke rumah kostnya.
“Oh, kamu Dewi ya? Anak pak Putu . Ayo masuk.” Ajak Hadhil ramah
Dewi dengan malu-malu mau masuk ke rumah kost Hadhil , dan dewi menggeret tangan Guni supaya masuk juga.
“ oh ya, kalo boleh tau kenapa sie Hadhil kok tinggal disini? Maksudku di Bali, kan kamu orang Jawa ?truz kamu seharian ngapain aja?” Tanya Dewi dengan pasang wajah maniez , dengan senyum kecil.
“ oh, aku kebetulan aja . tiap pagi sampe sore hari aku kerja sama bapak kamu , jadi perancang model berliannya , malemnya aku isenk-isenk aja bikin sketsa, truz kerja sampinganku sebagai penyalur amal di yayasan Al Ikhlas .”urai Hadhil .
Setelah ngobrol banyak , malam makin larut. Guni yang tadinya menyimpan cemburu utrut angkat bicara .
“Permisi ini udah malam , Dewi harus pulang dan aku juga.” izin Guni langsung menarik tangan Dewi untuk pulang dan keluar dari rumah kost Hadhil . Raut wajah Dewi berbungah dan Guni tampak kusut.

Betapa tidak riang kepalang Dewi , melihat Hadhil merekam dengan handycam semua kegiatan Dewi. Mulai pagi buat sesaji ,sekolah , siang menari , dan ke pura lalu senja ke pantai melihat sunset dan petang membantu Guni jualan rujak khas Tabanan.
Gelapnya malam tak membuat Dewi gelisah , ia tersenyum dan bahagia . Di warung rujak , ketika semua pelanggan pulang dan Hadhil sudah tidak mengikutinya , Dewi mencurahkan semua uneg-unegnya dan menumpahkannya dengan bercerita kepada Guni.
“Guni , kamu tau gak, tadi aku sehrian seneng banget. Kamu pikir gak? Mungkin gak kalo Hadhil itu suka ama aku? Menurutku sie mungkin aja coz tadi dia merekam semua kegiatanku dengan handycamnya . Aku rasa , aku telah jatuh hati padanya . Dia seolah memberiku harapan padaku. Aku ingin mengungkapkann rasa ini padanya , tapi… bagimana…?”
‘Whusss’ angin berdesir menyapu pasir pantai , suasana semakin hening , hati Guni remuk hancur , ternyata Dewi telah jatuh hati pada Hadhil , dan Dewi tidak merasa sedikitpun apabila cinta atas nama Dewi tumbuh melumut di hatinya. Betapa tidak , Guni tertahan , terpaku, terbeku , matanya tak berkedip , seolah jantung tak berdetak , darah tak mengalir , dan oksigen tak dihirupnya . Sakit, sakit,sakit benar hati Guni , setelah bertahun-tahun lamanya ia berharap Dewi menyambut cintanya, dihancurkan oleh pertemuan Dewi dengan Hadhil dengan rentan waktu singkat. Air mata dicoba ditahan Guni . Ia mencoba menahan diri tuk tenang dengan berusaha membuat Dewi tenang . Ia pun berucap,
“ Dew , sesungguhnya cinta bertepuk sebelah tangan itu sakit, sakit benar, namun lebih sakit lagi apabila kita tidak punya keberanian untuk ungkapkan cinta . Jadi, katakanlah jikalau kamu mencintainya , daripada selalu ada perasaan tidak tenang dan mengganjal. Ungkapkanlah , ungkapkan . Memang rasa suka bisa tumbuh dengan waktu 1 jam, rasa suka cinta tumbuh dengan waktu 1 hari, namun rasa sakit akan cinta tak kan hilang , meski seribu tahun lamanya. Daripada sakit tiada ujung , maka ungkapkan!” tutur Guni bijak menahn sakit hati.
“But how ? How can ? Apa yang harus ku ungkapkan? “ Tanya Dewi sambil memegang kepalanya mereda hati dan rasa tak karuan.
“Kamu harus berbicara dengan perasaan , tunjukkan perasaanmu yang terdalam , kalau kamu sayang dia” tutur Guni lembut.
Mereka terdiam berpikir masing-masing, memperkirakan apa yang terjadi esok.

“Sebenarnya , mungkin atau iya aku telah jatuh hati padamu , ku tak bisa menahan, meredam dan memendam perasaan ini lebih lama lagi , meski waktu seolah berjalan aangat lambat , sampai terhenti . Aku tetap jatuh hati padamu , tidak kah kau tahu ? Mungkin atau iya aku tak patut , tak seeloknya , dan tak sebagusnya aku mengungkapkan ini maukah kamu , Hadhil , mendampingi diriku sebagai kekasihku ?”
Pagi itu benar-benar tidak terasa pagi , burung – burung pagi yang biasanya berkicau , sudah tidak nampak batang hidungnya , deru sepeda motor tak nampak pula asapnya . Hening , semua hening , semua jadi serba hening dan tetap hening. Hanya matahari saja yang terus menaikkan diri menjadi saksi , saksi segala pagi itu.
“Maaf seribu maaf, Dewi mungkin ada yang tak kamu ketahui dariku .Aku sebagai muslim mempunyai prinsip , hidupku berprinsip , berprisip kepada wanita muslimah. Dan sekali lagi maafkanlah , kamu harus ketahui bahwa aku sebenarnya pengamat Seni dan Budaya , dan aku sedang menggarap project tentang Documentary Budaya Indonesia . Dan disinilah di pulau kelahiranmulah , di pulau dewatamu ini aku menemukan budaya , benar-benar budaya Indonesia yang khas dan aku telah menemukan gadis murni dewata yang kujuluki ia Bunga Dewata . Bunga Dewatalahyang ada di deapnku .Ku tahu kau pandai , mahir , ulet , dan tangkas menari , kau juga patuh dan taat kepada agamamu . Agama yang mengalir di setiap butir darahmu. Maka , ku buat ini untukmu . Berlian bunga dewata yang dapat kau jepitkan di rambutmu yang tergerai panjang itu. Ku buat berlian ini dengan tanganku , ku tempa senidiri dan ku rakit sendiri, semakin diasah semakin indah . Seperti dirimu dan ku harap kau menjadi Bunga Dewata seutuhnya dan semakin lama semakin bersinar . Kemarin biarlah menjadi kenangan , hari ini tetap menjadi kenyataan , dan hadapilah esok sebagai tantangan. Karena berbagai alasan , aku harus kembali ke Jawa tuk menyelesaikan project ini . Pertemuan kita tak kan kulupakan dan perpisahan ini kan kukenang selama aku bernapas dan ruh masih terperangkap di raga. Perpisahan ini kan jadi perpisahan terindah dan pertemuan kita kan jadi berarti.”
Hadhil memijakkan kakinya di kapal dan pergi meninggalkan Dewi dengan senyuman . Ombak membawa senyuman itu menjauh , semakin lama , semakin menghilang , hingga akhirnya hanya sebuah titik tak terlihat . Setidaknya , hati Dewi lega dan ia tak begitu kecewa , karena semua ia lalui dengan bahagia , sesekali ia memandang berlian itu . Berlian Bunga Dewata yang dipakai Sang Bunga Dewata Luh Putu Swandewi . Dari jauh dibalik pohon, tampak Guni melihat perpisahan haru itu , ternyata masih banyak waktu bagi Guni untuk menunggu Dewi menyambut cintanya. Bahagia dalam senyuman.


tamat

0 komentar:

Posting Komentar