Sabtu, 30 Januari 2010

Karbondioksida Telah Bergerak ke Laut Dalam

National Academy of Sciences menduga bahwa lautan menyimpan CO2 untuk jangka waktu lebih lama dari yang diharapkan. Hal ini merupakan kabar baik dalam rangka mengurangi resiko akibat perubahan iklim, akan tetapi hal ini merupakan kabar buruk untuk kehidupan perairan.

Sekitar setengah gas CO2 atmosfer yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sejak era revolusi industri berujung ke lautan. Gas ini, dengan oksigen dan beberapa senyawa udara lainnya larut ke dalam permukaan air dan kemudian bercampur. Lautan yang sangat luas, memungkinkannya untuk menyedot gas tersebut dengan kapasitas yang luar biasa.

Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa CO2 kadang-kadang akan ditransport ke laut yang dalam. Akan tetapi, penelitian sebelumnya tidak mampu mendeteksi keberadaan CO2 yang berasal dari kegiatan manusia dengan kedalaman lebih dari 4,000 meter. Douglas Wallace, (Leibniz Institute of Marine Sciences at the University of Kiel - Germany), dan teman-temannya mengatakan bahwa konsentrasi CO2 yang berasal dari aktivitas manusia di perairan Atlantik Utara paling sedikit sekitar 10% dari permukaan lautan.

Peter Brewer, ahli kimia perairan Monterey Bay Research Aquarium Institute in Moss Landing, California mengatakan bahwa hasil penelitian tersebut telah menunjukkan “invasi yang luar biasa dari sekitar 500 juta ton fosil CO2 ke lautan”.
Menandai jejak karbon

Sampai sekarang, para ilmuwan sedang berusaha untuk mendeteksi, di manakah tepatnya CO2 yang berasal dari aktivitas manusia disimpan dalam lautan. Kebanyakan penelitian menggunakan pencacah senyawa seperti chlorofluorocarbons (CFCs) atau 14C dari bom nuklir. Akan tetapi, kebanyakan penanda jejak karbon tersebut hanya didapatkan sekitar akhir perang dunia II.

Wallace dan teman-temannya berusaha mengembangkan cara berbeda untuk mengetahui usia karbon dalam lautan. Mereka mengukur karbon inorganik terlarut dan kemudian mengamati perubahan konsentrasi dalam hubungannya dengan faktor-faktor seperti suhu, pH, kandungan oksigen dan nutrient terlarut. Cara ini mampu mendeteksi keberadaan CO2 sampai kedalaman 4000 meter.

Wallace juga mengatakan bahwa setiap kali CO2 tersimpan ke bawah, maka permukaan air bebas untuk mengambil dan menyimpan lebih banyak CO2 . Semakin dalam CO2 bergerak, maka diharapkan CO2 tersebut akan tersimpan dalam waktu yang lebih lama juga. Meskipun sistem penyangga ini berfungsi dalam melawan pemanasan global, akan tetapi juga membuat laut dalam bersifat lebih asam – merusak dan melarutkan lapisan koral perairan dalam dan berbagai makhluk perairan lainnya. Dengan kata lain kita telah “merubah pH laut dalam dengan cara yang sangat radikal”­­

Kehidupan yang terancam meliputi organism yang bagian pelindungnya tersusun atas kalsium karbonat; kalsit atau aragonite (keduanya larut pada pH, suhu dan kedalam tertentu). Sebagai contoh, skeleton koral perairan dalam terbentuk dari kalsium karbonat.

Wallace dan teman-temannya menunjukkan bahwa aragonite yang terdapat di bagian barat Samudera Atlantik Utara sudah tidak stabil lagi. Akan tetapi di bagian timurnya ditemukan bahwa karbon telah bergerak sekitar 400 meter, dan diperkirakan akan mencapai kedalaman 700 meter pada tahun 2050.

Scott Doney, Senior Scientist di Department of Marine Chemistry and Geochemistry, Woods Hole Oceanographic Institution in Massachusetts, mengatakan bahwa pergerakan CO2 tersebut "akan membahayakan koral laut dalam yang hidup di kedalaman ini”. Wallace juga menambahkan bahwa efek “perubahan kimia yang lebih besar” yang berpotensi merusak koral-koral tersebut juga perlu mendapatkan perhatian khusus.
Sumber: Nature

0 komentar:

Posting Komentar